Ayun Penganten; Ngayun Pernikahan

Provinsi Banten
Komunal Ekspresi Budaya Tradisional
Jenis Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan
Sub Jenis Adat Istiadat, Ritus
Kustodian (Masyarakat yang Memelihara)
Alias
Pelapor
Uraian Singkat Kelahiran, perkawinan, dan kematian merupakan siklus hidup yang harus dijalani manusia. Siklus yang bersifat universal tersebut telah memunculkan berbagai karya budaya berikut ragam variannya. Seballknya, banyak juga karya budaya terkait siklus hidup manusia yang hanya mampu bertahan atau bahkan sudah punah akibat sifat budaya yang dinamis. Di antara ragam karya budaya yang terinspirasi dari siklus hidup manusia yang hingga kini mampu bertahan adalah tradisi Ngayun Penganten. Ngayun Penganten adalah salah satu bagian dari tradisi perkawinan yang sudah ada sejak zaman kesultanan Banten. Karya budaya ini merupakan hasll dari kolaborasi antara tradisi dengan unsur agama (Islam). Fungsi pelaksanaan Ngayun Penganten adalah sebagai ritual penawar (tolak bala) agar kehidupan dan rumah tangga pengantin yang dijalani nantinya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan diridhoi oleh Allah SWT. Ditinggal mati kakak adik (posisi ego berada di tengah), tanggal kelahiran dan tanggal pernikahan pada Bulan Safar adalah alasan utama pelaksanaan Ngayun Penganten. Bulan Safar menurut kepercayaan masyarakat setempat merupakan bulan “panas”dan kurang menguntungkan untuk individu yang masuk dalam kriteria tersebut. Pada Masyarakat Kota Cilegon, tradisi ini tidak hanya dilakukan di Bulan Safar, namun dilakukan juga di Bulan Syawal. Alasannya adalah bahwa apabila Bulan Syawal dikurang sembilan (dihitung saat calon pengantin masih dalam kandungan) maka hasilnya akan jatuh pada Bulan Safar. Ngayun Penganten dilaksanakan bersamaan dengan hari pernikahan setelah sesi ijab kabul. Pada Masyarakat di Kabupaten Serang, peralatan yang dibutuhkan untuk tradisi ini berjumlah 17 buah, yaitu: tambang, kursi, tali, cecepon (bakul kecil), irig, kukusan, beras kuning dicampur bunga-bunga dan uang, kendi berisi air, bakul, tampah, gayung, irus, minyak sayur, tumper (kayu yang dibakar), buah kelapa, panjang (sajian makanan) (Nahtadi, 2015: 57-58). Sementara untuk masyarakat di Kota Cilegon (Ishom, 2019), peralatan Ngayun Penganten berupa sepotong kayu nangka, bambu penyangga, uang kuno (ringgit), sapu lidi, tali tambang, kursi, piring beling kuno, beras sekarung, ayam kampung berikut 1 telur, sarung, dan satu setengah meter kain putih. Kursi dalam tradisi Ngayun Penganten pada waktu dulu hanya berupa potongan bilah bambu yang dirangkai membentuk satu petak bujursangkar berukuran sekitar 2,25 m2. Seluruh persyaratan peralatan harus ada dan lengkap. Apabila ada yang kurang, tradisi Ngayun Penganten tidak dapat dilaksanakan berbarengan dengan pesta pernikahan, tetapi tetap harus dilaksanakan dikemudian hari. Pada masyarakat Kabupaten Serang, peralatan berupa Irig, cecepon, kukusan, bakul, tampah, gayung, irus, minyak sayur, dan buah kelapa diikat dan digantungkan di lokasi Ngayun (Nahtadi, 2015: 57-58). Tambang digunakan untuk mengikat kursi Ngayun yang telah dilapisi sehelai kain. Pasangan pengantin yang masih mengenakan pakaian pengantin dipersilahkan duduk di kursi Ngayun sambil masing-masing memegang ujung dari seutas tali. Seorang tokoh masyarakat kemudian mengayun-ayunkan kursi Ngayun dari belakang. Di bagian depan, seorang sinden mengalunkan lagu-lagu khusus untuk prosesi tersebut. Selesai alunan lagu, prosesi dilanjutkan dengan pembacaan doa-doa permohonan agar pasangan pengantin kelak memiliki rumah tangga yang sakinah, mawadah, warrohmah. Akhir dari prosesi, kepala pasangan pengantin disiram beras kuning bercampur bunga dan uang. Hanya sebagian beras kuning saja yang disiram. Sisanya disiramkan pada masyarakat yang ikut menyaksikan tradisi Ngayun Penganten. Kursi dalam sesi mengayun untuk saat ini sudah digantikan dengan model kursi biasa. Tambang yang mengikat kursi juga sudah tidak dipergunakan lagi. Fungsi orangtua atau tokoh masyarakat yang tadinya bertugas mengayun dari belakang saat ini beralih fungsi sebagai pembawa payung yang menaungi kedua mempelai. Prosesi dilanjutkan dengan simbolisasi pemadaman api amarah. Sang pengantin perempuan memegang tumper sebagai simbol api amarah, sedangkan pengantin laki-laki memegang kendi berisi air yang diartikan sebagai sarana untuk memadamkan api amarah. Air dari dalam kendi tersebut kemudian disiramkan ke tumper. Setelah air yang ada di dalam kendi habis, pengantin laki-laki kemudian membanting kendi tersebut hingga pecah. Prosesi Ngayun Penganten diakhiri dengan menyantap sajian yang ditaruh dalam panjang. Melalui pelaksanaan tradisi Ngayun Penganten yang hingga kini masih dilaksanakan oleh masyarakat di wilayah Serang, Cilegon, dan Pandeglang Provinsi Banten, tersirat nilai luhur yang mengajak pasangan pengantin untuk menjalani biduk rumah tangga dengan ikhlas dan sabar dalam menghadapi berbagai tantangan. Bulan Safar yang diidentikan sebagai bulan “panas” sebenarnya hanya sebagai simbol keberadaan emosi negatif manusia – yang menurut kepercayaan meningkat pada Bulan Safar - yang harus dihilangkan. Sementara itu, Kriteria “anak tengah” yang masuk dalam salah satu kewajiban pelaksanaan tradisi Ngayun Penganten memiliki arti bahwa pentingnya tata krama untuk menjaga keharmonisan dalam lingkungan keluarga.
Gambar picture
Sumber / link https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2017